Hari ini :
Anda belum login? >> Silahkan Login

Kepemimpinan

Pengertian Kepemimpinan (Leadership)

Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama.
Sarros dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.
Sedangkan menurut Anderson (1988), "leadership means using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that achieve high performance".
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.

Kedua: seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
· Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
· Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
· Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
. Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
· Expert power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.

Ketiga: kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda.

Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.

Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan (followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin, maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.

Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin.

Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek. Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.Berikut ini akan dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenaimodel-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.

(a). Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watakindividu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan, kejujuran,kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul, status sosial ekonomimereka dan lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill (1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).

Bukti-bukti yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill 1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan. Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain (selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.

(b). Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinandengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studitentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.

Hencley (1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi. Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin.

Hoy dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics). Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi tertentu.

(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku (types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).

Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia sekaligus dalam organisasinya.

(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).

Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).

Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itudipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).

Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).

MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.

(e) Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi.

Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi.Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.

Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.

Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.

Menurut Yammarino dan Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Yammarino dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi maupun pada tingkat individu.
Dalam buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's".

Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu).

Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996).

Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya.

Bryman (1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.

Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran.

Dengan perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition). Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.

Referensi:
Bass, B.M. and Avolio, B.J., 1994, Improving Organizational Effectiveness through Transformational Leadership, Sage, Thousand Oaks.
Bass, B.M., 1960, Leadership, Psychology and Organizational Behavior, Harper and Brothers, New York.
Bennis, W.G. and Nanus, B., 1985, Leaders: The Strategies for Taking Charge, Harper and Row, New York.
Bryman, A., 1992, Charisma and Leadership in Organizations, Sage, London.
Burns, J.M., 1978, Leadership, Harper and Row, New York.
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York.
French, J. and Raven, B., 1967, 'The basis of social power', in D. Cartwright and A. Zander (eds.), Group
Read On 0 komentar

Menghancurkan Batu Ginjal (2)

Menghancurkan Batu Ginjal dari luar Tubuh
Oleh Sandro Mihradi
Seiring dengan makin majunya teknologi kedokteran dalam terapi penyakit batu ginjal, maka saat ini semakin besar peluang pasien untuk dapat menghindari operasi terbuka untuk mengeluarkan batu ginjal dari dalam tubuhnya. Terapi batu ginjal dimulai dari terapi natural atau pasif, yaitu dengan meminum obat-obatan tertentu untuk membantu meluruhkan batu ginjal secara kimia, kemudian ke terapi aktif, dimulai dari yang bersifat non-invasive seperti ESWL, kemudian terapi minimal-invasive seperti Percutaneous Nephrolithotomy (PNL) dan Ureteroscopy (URS), dan akhirnya sebagai pilihan terakhir adalah operasi terbuka.
Seperti telah dijelaskan dalam tulisan pertama, ESWL adalah terapi yang menggunakan gelombang kejut (shock wave), yang ditembakkan dari luar tubuh ke arah batu ginjal sampai batu ginjal tersebut hancur dan ukuran serpihannya cukup kecil hingga dapat dikeluarkan secara natural dengan urinasi. Dikatakan sebagai terapi non-invasive, karena tidak memerlukan pembedahan atau memasukkan alat kedalam tubuh pasien. Sedangkan PNL dan URS dikatakan sebagai terapi minimal-invasive karena memerlukan sedikit pembedahan dengan memasukkan alat kedalam tubuh untuk menghancurkan dan mengeluarkan batu ginjal.
Dalam terapi PNL, guide wire dimasukkan melalui kulit dekat pinggang kemudian dengan membuat lubang kecil menembus masuk ke dalam ginjal sampai ia menemukan posisi batu ginjal. Sejenis tabung kecil kemudian dimasukkan sepanjang guide wire untuk membuat tunnel, dimana nantinya lewat tunnel ini dimasukkan instrumen kecil untuk menghancurkan batu ginjal dan mengeluarkan serpihannya. Sedangkan URS prinsip kerjanya mirip dengan PNL, namun dalam URS digunakan alat yang dinamakan ureteroscopes, dimana alat ini dimasukkan melalui urethra (saluran kencing), kemudian melalui bladder (kandung kemih) dan ureter (saluran kemih), sampai menemui posisi batu ginjal.
Dari beberapa terapi di atas, ESWL merupakan terapi pilihan pertama untuk kasus umum penanganan batu ginjal dikarenakan keamanan, keefektifan serta kefleksibelannya terhadap posisi batu ginjal. Sebagai perbandingan, terapi PNL hanya efektif untuk penanganan batu ginjal yang masih berada dalam ginjal atau atau yang berada pada ureter bagian atas. Sedangkan terapi URS efektif pada batu ginjal yang berada pada ureter bagian bawah atau pada kandung kemih. Kemudian dari segi keamanan dan kenyamanan, pasien yang diterapi dengan ESWL pada umumnya tidak memerlukan obat bius atau penahan sakit saat terapi dilakukan, dan sudah dapat melakukan aktifitas seperti biasa dalam satu atau dua hari setelah terapi. Sedangkan untuk PNL dan URS diperlukan waktu pemulihan sekitar satu sampai dua minggu, dan waktu pemulihan yang lebih panjang dibutuhkan lagi bagi pasien yang menjalani operasi terbuka , yaitu sekitar enam minggu [1].
Dari berbagai referensi diperoleh data bahwa tingkat keberhasilan terapi ESWL sampai pasien benar-benar bebas dari batu ginjal adalah antara 60 sampai 90 persen. Tingkat keberhasilan ini sangat ditentukan diantaranya oleh besar, jenis, dan lokasi dari batu ginjal tersebut.
Bagaimana shock wave menghancurkan batu ginjal?
Dari hasil observasi pada proses ESWL, ditemukan bahwa pada awalnya batu ginjal yang ditembak dengan shock waves pecah menjadi dua atau beberapa fragment besar [2].
Selanjutnya dengan bertambahnya jumlah tembakan, fragment tersebut pecah kembali dan hancur. Umumnya diperlukan sekitar 1000 sampai 5000 tembakan sampai serpihan-serpihan batu ginjal tersebut cukup kecil untuk dapat dikeluarkan dengan proses urinasi.
Proses hancurnya batu ginjal diprediksi merupakan hasil kombinasi dari efek langsung maupun tidak langsung dari shock waves. Untuk dapat menjelaskan proses hancurnya batu ginjal, terlebih dahulu kita perlu mengetahui profil dari shock wave yang dihasilkan di titik fokus penembakan. Hasil pengukuran tekanan pada titik fokus penembakan dapat dilihat dalam Gambar 1. Secara umum, shock wave ditandai dan diawali oleh high positive pressure (compressive wave) dengan durasi singkat sekitar satu mikrodetik, kemudian diikuti oleh negative pressure (tensile wave) dengan durasi sekitar tiga mikrodetik.


Gambar 1. Shock wave profile, diukur pada titik fokus penembakan [3]
High positive pressure di dalam batu ginjal akan mengalami refraksi dan refleksi, dan akhirnya membangkitkan tensile dan shear stress di dalam batu ginjal. Selanjutnya retak akan terjadi dan merambat hingga menyebabkan batu pecah menjadi dua atau beberapa fragment besar. Pada saat yang sama, tingginya compression stress dapat menyebabkan erosi pada permukaan batu ginjal. Proses di atas dikatakan sebagai efek langsung dari shock wave.
Sedangkan negative pressure pada Gambar 1, akan mengakibatkan munculnya cavitation bubbles pada fluida di sekitar batu ginjal dan ini dikatakan sebagai efek tidak langsung dari shock wave. Cavitation bubbles ini kemudian akan collapse menghujam permukaan batu ginjal dan menyebabkan erosi.
Ilustrasi dari proses ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Ilustrasi efek langsung dan tidak langsung dari shock wave pada batu ginjal [4]
Beberapa tantangan ESWL
Walaupun ESWL telah terbukti keandalannya, namun ia masih menyisakan beberapa tantangan. Diantaranya adalah rendahnya tingkat keberhasilan ESWL (dengan satu kali tindakan) pada pasien yang memiliki batu ginjal dengan diameter lebih dari dua sentimeter, dan pada batu yang berjenis Cystine. Selain itu masih didapatinya laporan terjadinya injury pada ginjal yang kemungkinan besar disebabkan oleh cavitation.Saat ini berbagai riset masih intensif dilakukan untuk mengatasi beberapa masalah di atas. Diharapkan pada akhirnya akan dapat dikembangkan teknologi baru yang dapat meningkatkan efisiensi lithotripter dalam menghancurkan batu ginjal dan disaat yang bersamaan dapat meminimalkan injury pada ginjal. (Selesai).
Read On 1 komentar

Menghancurkan Batu Ginjal (1)

Menghancurkan Batu Ginjal dari luar Tubuh
Oleh Sandro Mihradi
Saat ini di Indonesia masih banyak yang belum mengenal Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), sebagai salah satu terapi penyembuhan penyakit batu ginjal. ESWL sebenarnya sudah bukan merupakan barang asing dalam dunia kedokteran khususnya bagi para urologis. Sejak diperkenalkan penggunaannya di awal tahun 1980-an, ESWL semakin populer dan menjadi pilihan pertama dalam kasus umum penanganan penyakit batu ginjal.
Beberapa keuntungan dari ESWL diantaranya adalah dapat menghindari operasi terbuka, lebih aman, efektif, dan biaya lebih murah, terutama untuk prosedur ESWL yang sederhana sehingga tidak memerlukan perlakuan berkali-kali.
ESWL merupakan terapi non-invasif, karena tidak memerlukan pembedahan atau memasukkan alat kedalam tubuh pasien. Sesuai dengan namanya, Extracorporeal berarti di luar tubuh, sedangkan Lithotripsy berarti penghancuran batu, secara harfiah ESWL memiliki arti penghancuran batu (ginjal) dengan menggunakan gelombang kejut (shock wave) yang ditransmisi dari luar tubuh.
Dalam terapi ini, ribuan gelombang kejut ditembakkan ke arah batu ginjal sampai hancur dengan ukuran serpihannya cukup kecil sehingga dapat dikeluarkan secara alamiah dengan urinasi. Ilustrasi sederhana teknik ESWL dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampang interior ginjal A) Sebelum penembakan, B) Gelombang kejut yang difokuskan pada batu ginjal, C) Tembakan dihentikan hingga serpihan batu cukup kecil untuk dapat dibuang secara natural bersama air seni

Treatment ESWL, pasien dibaringkan di atas tempat tidur khusus dimana generator shock wave telah terpasang di bagian bawahnya. Sebelum proses penembakan dimulai, dilakukan pendeteksian lokasi batu ginjal menggunakan imaging probe (dengan ultrasound atau fluoroscopy), agar shock wave yang ditembakan tepat mengenai sasaran.
Pada lithotripter keluaran terbaru, umumnya telah dipasang anti-miss-shot device yang memonitor lokasi batu ginjal secara kontinyu dan tepat waktu, sehingga alat ini memiliki tingkat keakurasian tembakan sangat tinggi dan pada saat bersamaan dapat meminimalkan terjadinya luka pada ginjal akibat salah tembak.

Sejarah lithotripter
Ide penggunakan shock wave untuk menghancurkan batu ginjal ternyata memiliki sejarah yang cukup panjang. Jerman tercatat sebagai negara yang mempelopori pengembangan ESWL. Pada awalnya riset yang digulirkan hanya ingin mempelajari interaksi antara shock wave dengan biological tissue pada hewan.
Riset ini dilakukan antara tahun 1968 sampai 1971 di Jerman, dilatarbelakangi oleh adanya insiden salah seorang pegawai perusahaan Dornier (saat ini perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan pembuat mesin lithotripter) secara tidak sengaja tersengat shock wave pada saat eksperimen.
Salah satu hasil dari riset ini adalah ditemukan bahwa shock wave mengakibatkan efek samping yang rendah pada otot, lemak, dan jaringan sel tubuh, dan bone tissue (jaringan tulang) tidak mengalami kerusakan saat dilalui oleh shock wave.
Hasil penelitian ini kemudian membawa lahirnya ide penggunaan shock wave untuk menghancurkan batu ginjal dari luar tubuh. Pada tahun 1971, Haeusler dan Kiefer telah memulai eksperimen in-vitro (dilakukan di luar tubuh) penghancuran batu ginjal dengan shock wave. Kemudian pada tahun 1974 pemerintah Jerman secara resmi memulai proyek penelitian dan aplikasi ESWL.
Selanjutnya pada awal tahun 1980 pasien pertama batu ginjal diterapi dengan ESWL di kota Munich menggunakan mesin Dornier Lithotripter HM1. Sejak saat itu eksperimen lanjutan dilakukan secara intensif dengan in-vivo (dilakukan di dalam tubuh) maupun in-vitro. Akhirnya mulai tahun 1983, ESWL secara resmi diterapkan di rumah sakit di Jerman.
Bagaimana lithotripter bekerja?
Merupakan suatu hal yang menarik untuk mengetahui cara lithotripter bekerja, yaitu bagaimana shock wave dihasilkan, kemudian merambat masuk ke dalam tubuh dan menghancurkan sasarannya, tanpa merusak media yang dilewatinya.
Saat ini ada 3 jenis pembangkit shock wave yang digunakan dalam ESWL: electrohydraulic, piezoelectric, dan electromagnetic generator. Masing-masing memiliki cara kerja yang berbeda, namun ketiganya menggunakan air sebagai medium untuk merambatkan shock wave yang dihasilkan.
Electrohydraulic generator menggunakan spark gap untuk membuat "ledakan" di dalam air. Ledakan ini kemudian menghasilkan shock wave. Sedangkan piezoelectric generator, memanfaatkan piezoelectric efek pada kristal. Sedangkan electromagnetic generator, menggunakan gaya elektromagnetik untuk mengakselerasi membran metal secara tiba-tiba dalam air untuk menghasilkan shock wave.
Dari 3 jenis generator di atas, electrohydraulic lithotripter merupakan lithotripter yang paling banyak digunakan saat ini [1].
Diagram skematik dari lithotripter ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram skematik electrohydraulic lithotripter
Pada awalnya, shock wave yang dihasilkan generator hanya memiliki tekanan yang rendah, kemudian difokuskan pada satu lokasi dimana batu ginjal berada. Hanya pada titik fokus inilah shock wave memiliki tekanan yang cukup besar untuk menghancurkan targetnya, sehingga tidak akan merusak bagian di luar daerah fokus ini.
Dalam proses pengobatan, karena titik fokus lithotripter ini sudah fixed, sebaiknya posisi pasien digeser sedemikian rupa sehingga batu ginjal tepat berada dalam titik fokus tersebut. Untuk menghantarkan shock wave dari lithotripter ke tubuh pasien, digunakan air atau gelatin sebagai media perantaranya, dikarenakan sifat akustik keduanya paling mendekati sifat akustik tubuh (darah dan jaringan sel tubuh), sehingga pasien tidak akan merasakan sakit pada saat shock wave masuk ke dalam tubuh.
ESWL di Indonesia
Saat ini penulis belum memiliki data pasti tentang berapa banyak rumah sakit di Indonesia yang telah melayani prosedur ESWL. Mengingat harga lithotripter yang cukup mahal mungkin hanya rumah sakit besar saja yang telah memiliki alat ini. Mengenai biaya pengobatan dengan ESWL sangat tergantung berapa kali tindakan ESWL yang diperlukan sampai pasien benar-benar bebas dari batu ginjal.
Di Amerika, rata-rata pasien menjalani 1.5 kali tindakan ESWL [2] sampai benar-benar bebas dari batu ginjal. Namun jika merujuk pada artikel kesehatan di Indosiar pada 14 Januari 2006 lalu (http://news.indosiar.com/news_read.htm?id=48134) yang menyatakan bahwa untuk sekali tindakan ESWL diperlukan biaya sekitar 4,5 juta rupiah, maka dapat dikatakan bahwa terapi ini selain menawarkan keamanan dan kenyamanan, juga menawarkan biaya pengobatan yang relatif murah.
Read On 1 komentar
 

About me | Author Contact | Powered By Blogspot | © Copyright  2008